“Seorang perempuan miskin datang menemuiku,” kata Aisyah Ra, “Ia membawa dua orang anak perempuan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada kedua orang anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha merebutnya, sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak makan satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perempuan itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda:
“Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)
“Barang siapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu ia melindungi mereka, mengasihi mereka, memelihara mereka dengan baik, ia pasti masuk surga,” kata Nabi Muhammad dalam riwayat yang lain. (Al-Targhib wa Al-Tarhib,3:68)
Nabi menegaskan anak perempuan, karena pada zaman itu, anak perempuan tidak mempunyai hak sama sekali. Mereka dianggap beban ekonomi, sehingga sering dibunuh beberapa saat setelah mereka lahir. Al-Quran mengabadikan peristiwa pembunuhan anak perempuan itu, ketika Allah berfirman: Ingatlah ketika anak-anak perempuan yang dibunuh itu ditanya, karena dosa apa mereka harus dibunuh.” (QS.81:8)
Nabi memberikan contoh penghargaan kepada anak (khususnya anak perempuan), ketika memperlakukan Fathimah. Nabi memanggil putrinya :”Ummu Abiha” (ibu dari bapaknya), sebagai penghormatan atas kebaktian Fathimah dalam berkhidmat kepada ayahnya.
Bila Nabi tengah berada dalam majelis dan melihat Fathimah datang, dia segera bangkit. Tidak jarang dia mencium tangan Fathimah dihadapan sahabat-sahabatnya –cium penghormatan dan kasih sayang sekaligus. Kadang-kadang dia mencium dahi Fathimah seraya berkata “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah.”
Seorang pemuka kabilah, Al-Aqra’ bin Habis, melihat Nabi mencium anaknya. Dia keheranan dan bertanya, “Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak. Tak seorang pun aku cium.” “Aku tidaklah seperti kamu,” jawab Nabi yang mulia,“ Karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu.”
Ketika Rasulullah khawatir jika ada orang yang menyakiti hati Fathimah, maka dia mengumumkan kecintaannya kepada putrinya dengan berkata, “Fathimah belahan nyawaku, siapa yang menyakiti Fathimah dia menyakitiku. Siapa yang membuat Fathimah murka, dia membuatku murka juga.” (HR.Al-Bukhari)
Begitu eratnya hubungan kasih sayang antara Rasulullah dengan putrinya, sehingga kepergian Rasulullah ke alam baka’ sangat menggoncangkan Fathimah. Hampir setiap hari dia menjenguk makam ayahnya. Dia merintih di depan pusara ayah yang dikasihinya. Dia mengambil segenggam tanah kuburan dan mengusapkannya ke wajahnya seraya bersyair, “Apakah orang yang telah mencium tanah pusara Ahmad, akan dapat menghirup lagi semerbak wewangian. Telah menimpa daku musibah. Seandainya musibah itu jatuh siang hari, siang akan berubah menjadi malam gulita.”
Pada saat anak perempuan dipandang rendah, Nabi mengangkat Fathimah. Ketika kehadiran anak wanita dianggap bencana, Nabi menyebut Fathimah sebagai “Al-kautsar” (anugerah yang banyak). Dalam masyarakat Jahiliyyah yang bangga menguburkan anak perempuan hidup-hidup, Nabi menegakkan hak-hak anak secara terbuka. Belum pernah pemimpin dunia memerlakukan anaknya seperti perlakuan Nabi kepada Fathimah.
Hubungan batin diantara keduanya dicatat sejarah sebagai pelajaran abadi untuk umat manusia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita melihat seorang pemimpin agung memperjuangkan hak-hak seorang anak.
DIBERI NAMA YANG BAIK
Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya ialah memberikan nama yang baik. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Ya Rasulallah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya; kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik.” (Syarh Risalah Al-Huquq,1:597) .
Apakah arti sebuah nama?
Nabi menegaskan banyak sekali hal penting dalam nama seseorang ketika seorang sahabat menyebutkan namanya “Hazn” (duka cita), Nabi menggantinya dengan “Farh” (suka cita). “Al-Mudhtaji” (yang terbaring) diganti oleh Nabi menjadi “Al-Munbaits” (yang bangkit). Orang yang namanya “Harb” (perang) diubah nabi menjadi “Silm” (damai), dan banyak lagi yang lain. (Al-Targhib, 3:71).
Anak berhak mendapat nama yang baik, karena seringkali nama yang diberikan oleh orang tuanya menentukan kehormatannya. Ahli hikmah berkata: “Jika kami belum melihat kalian, maka yang paling kami cintai ialah yang paling bagus namanya. Bila kami sudah melihat, maka yang paling bagus wajahnya. Bila kami sudah mendengar kalian, maka yang paling bagus pembicaraannya. Bila kami sudah memeriksa kalian, maka yang paling kami cintai adalah yang paling bagus akhlaknya. Adapun batin kalian, biarlah itu urusan kalian dengan Tuhan kalian.”
Nama itu penting, karena nama dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan akidah. Jang Odeng sudah pasti orang Sunda, Harahab jelas berasal dari keluarga Batak, Tukijo tentu orang Jawa, dan Al Atos terang menunjukkan keluarga Arab.
Islam menganjurkan agar orang tua memberikan nama anak yang menampakkan identitas Islam, suatu identitas yang melintas batas-batas rasial, geografis, etnis, dan kekerabatan (kinship).
Karena itu, Muhammad Ali boleh jadi orang Pakistan, Iran, Indonesia, atau Amerika Serikat. Tetapi hampir dapat dipastikan ia orang Islam.
Para psikolog modern belakangan menyadari pentingnya nama dalam pembentukan konsep diri. Secara tak sadar orang akan didorong untuk memenuhi citra (image, gambaran) yang terkandung dalam namanya.
Teori labelling (penamaan) menjelaskan kemungkinan seorang menjadi jahat karena masyarakat menamainya sebagai penjahat. Berilah gelar “JOROK” kepada anak anda, dan seumur hidup anak itu akan menjadi orang yang jorok. Gelarilah ia “Si Pemurah” dan ia besar kemungkinan akan berusaha selalu pemurah.
Memang boleh jadi orang akan berperilaku yang bertentangan dengan namanya. Taufiq mungkin menjadi penjahat, tetapi nama itu akan meresahkan batinnya. Ia boleh jadi mengubah namanya, atau mengubah perilakunya.
Walhasil, anak anda akan menggugat anda pada hari akherat (dan boleh jadi di dunia ini juga) bila nama yang anda berikan membawa petaka dalam kehidupannya. “Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR.Abu Dawud dan Ibnu Hiban)
MENDAPAT KASIH SAYANG
“Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang kecil,” kata Nabi Muhammad Saw.
Nabi mengecam pemuka Arab yang tidak pernah mencium anaknya dan mengatakan bahwa cinta telah tercerabut dari jantungnya. Dia juga berkata, “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang paling penyayang terhadap keluarganya; dan aku adalah orang yang paling sayang kepada keluargaku.”
Kasih sayang tidak boleh disimpan saja didalam hati. Kasih sayang harus dikomunikasikan, karena itu Nabi mengungkapkan kasih sayangnya tidak saja secara verbal (dengan kata-kata), tetapi juga dengan perbuatan. Ketika dia berkhutbah, dia melihat Hasan dan Husayn berlari dengan pakaian yang menarik perhatian. Dia turun dari mimbarnya, mengangkat mereka, dan meneruskan khutbah dengan kedua anak itu dalam pangkuannya. Dia berkata, “Mereka adalah penghulu para remaja di surga.” Ketika bersujud, dia memanjangkan sujudnya hanya karena tidak ingin mengganggu Hasan dan Husayn yang berada di atas punggungnya.
Pada suatu hari Umar menemukan Nabi merangkak di atas tanah, sementara dua orang anak kecil berada di atas punggungnya, Umar berkata, “Hai anak, alangkah indahnya tungganganmu itu.” Yang ditunggangi menjawab, “Alangkah indahnya para penunggangnya!” Suasana seperti ini menunjukkan keakraban Nabi dengan cucu-cucunya. Dia mencintai mereka dan dengan jelas mengungkapkan kecintaan itu.
Ketika Mu’awiyah berlaku kasar terhadap anaknya, Al-Ahnaf memberikan nasehat kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, anak-anak itu buah hati kita, tonggak kehidupan kita. Kita langit yang melindungi mereka dan bumi tempat mereka berpijak. Jika mereka marah, senangilah mereka. Jika mereka meminta sesuatu, berilah. Jangan memperlakukan mereka dengan kasar; nanti mereka menghindari keberadaanmu dan mengharapkan kematianmu.”
Banyak diantara kita secara fitri menyayangi anak-anak kita, tetapi sering kali kasih sayang itu tersembunyi. Anak-anak baru mengenal kecintaan orang tua mereka justru ketika orang tua itu sudah meninggal dunia. Seringkali kita tidak mampu mengkomunikasikan kecintaan kita. Untuk pertumbuhan kejiwaan mereka yang sehat, mereka memerlukan siraman cinta orang tua mereka.
Apa yang terjadi bila anak kekurangan atau tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya? Sebelum menjawab petanyaan itu secara psikologis dan sebelum kita menghayati perintah Islam untuk mengungkapkan kasih sayang ini, marilah kita simak puisi:
Anak-Anak Belajar Dari Kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
“Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan; ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”
Nabi Muhammad saw, ketika ditegur orang mengapa mencium putranya, berkata: “Man la yarham la yurham (siapa yang tak menyayangi, ia tak akan disayangi).” Bila orang tua gagal mengungkapkan rasa sayang kepada anak-anaknya, mereka tak akan mampu mencintai orang tua mereka. Dalam pergaulan sosial, mereka pun tak akan mampu mencintai atau menyayangi orang lain.
Ada seorang mencoba membuat penelitian dengan memisahkan anak-anak monyet dari ibunya. Kemudian, dia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan; selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri, dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh kepada anak-anaknya, dan seringkali melukai mereka.
Para psikolog menyebut situasi tanpa ibu itu sebagai “maternal deprivation”. Tentu saja kita tidak dapat melakukan eksperimen yang sama kepada manusia. Tetapi para peneliti menemukan gejala yang sama pada perilaku anak-anak manusia yang mengalami maternal deprivation pada awal kehidupan mereka.
Pada manusia, pemisahan anak dari orang tua itu dapat secara fisik (misalnya, karena perceraian atau orang tuanya meninggal) dan dapat juga secara psikologis (yakni, ia tidak terpisah dari orang tuanya secara fisik, tetapi ia tidak mendapat kasih sayang yang memadai). Yang kedua biasanya disebut sebagai “deprivasi terselubung.” Deprivasi terselubung ini dapat terjadi, misalnya, kedua orang tua (ayah dan ibu) bekerja dan pulang pada sore hari dalam keadaan lelah. Mereka tak sempat bercanda dengan anak-anak mereka, atau berkumpul mengobrol dengan hangat, atau memeluk dan mencium mereka dalam keakraban. Anak-anak yang mengalami deprivasi ternyata cenderung menderita kecemasan, rasa tidak tenteram, rendah diri, kesepian, agresivitas, cenderung melawan orang tua, dan pertumbuhan kepribadian yang lambat.
Kekurangan kasih sayang menghambat aktualisasi potensi kecerdasan yang dimilikinya, sehingga anak menjadi sukar belajar. Seperti juga pada monyet (yang secara biologis satu keluarga dengan kita), anak-anak yang kekurangan kasih sayang cenderung berkembang menjadi bapak atau ibu yang tidak mampu menyayangi anak-anaknya.
Seorang psikologi menyebut kekurangan kasih sayang sebagai penyakit menular. Karena itu, Islam sebagai agama yang membawa misi “Rahmatan Lil ‘Alamin” (menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam), mewajibkan orang tua untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada keluarganya.
“Orang yang paling baik diantara kamu ialah yang paling penyayang kepada keluarganya,” kata Rasulillah Saw, sekali lagi. Dalam al-Quran memelihara kasih sayang dalam keluarga adalah perintah kedua setelah takwa; “Bertaqwalah kamu kepada Allah, tempat kamu saling bermohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga.” (QS.4:1)
Kasih sayang adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Mengkomunikasikan kasih sayang kepada anak-anak kita itu perlu. Pikiran seorang anak, demikian pula fisiknya, memerlukan bantuan untuk pertumbuhannya. Ada tiga macam “makanan” yang penting untuk pertumbuhan pikirannya yaitu bahasa, bermain, dan kasih sayang.
Sejak bulan pertama kehidupannya, seorang anak perlu diajak bercakap-cakap, didekap, dan diasuh dengan penuh kasih sayang, diberi senyuman, didengarkan dan dirangsang untuk memberikan reaksi dengan bunyi-bunyian atau gerakan.
Mereka perlu sentuhan, teman bicara, teman tertawa, memberikan respon dan menerima respon. Kurangnya perhatian akan membuat mereka tidak bahagia. Anak yang kurang perhatian akan kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, sehingga pikiran dan badannya tidak tumbuh dengan baik.
Anak-anak belajar dengan melakukan banyak hal. Dengan demikian dalam masa pertumbuhannya, mereka perlu kebebasan untuk mencari dan bermain. Bermain-main bukanlah kegiatan yang tidak berarti, tetapi sangat penting untuk pertumbuhan anak dan dapat membantu mengembangkan mental, sosial, dan keterampilan fisiknya, termasuk berbicara dan berjalan. Bermain dapat merangsang rasa ingin tahu, kecakapan, serta percaya diri seorang anak. Bermain juga merupakan landasan sebagai dasar untuk mampu melakukan pekerjaan sekolahnya, mempelajari beberapa keterampilan yang perlu untuk kehidupannya di kemudian hari.
Bermain tidak selalu berarti menyelesaikan masalah atau mencapai apa yang direncanakan oleh orang tua. Permainan anak-anak itu sendiri sangatlah penting. Merangsang anak-anak bermain dengan menyediakan barang-barang dan bermacam ide serta bahan adalah cara yang baik untuk membesarkan anak.
Alat permainan tidak selalu harus mahal. Dus-dus kosong atau alat rumah tangga sama manfaatnya dengan mainan-mainan yang mahal. Permainan yang imajinatif, misalnya, yang dapat berperan sebagai orang tua, sangatlah baik untuk perkembangan anak.
Anak perlu bantuan untuk mengembangkan daya cipta, mereka perlu tantangan untuk dapat memecahkan masalah dan memutuskan apa yang terbaik. Anak perlu menyatakan keinginannya dan keputusannya dan melihat apa yang akan terjadi.
Bernyanyi dan belajar irama menggambar, membaca cerita dengan suara keras dapat membantu perkembangan pikiran anak dan mempersiapkan anak untuk belajar menulis dan membaca. “Agar dapat tumbuh sehat, semua anak harus diberi pujian dan sanjungan atas semua hasil karyanya.”
Ketika Rasulullah menggelari putrinya “Ummu Abiha” (ibu yang merawat ayahnya), dia memberikan sanjungan atas perkhidmatan Fathimah.
Ketika Nabi bermain dengan Hasan dan Husayn, dia sedang memberikan contoh permainan yang imajinatif. Ketika dia memeluk Hasan dan Husayn sambil berkata “Ya Allah, aku mencintai mereka,” dan ketika ia mencium Fathimah seraya berkata, “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah,” dia sedang mengkomunikasikan kasih sayangnya.
Lima belas abad sesudah itu, banyak orang membenarkan Sunnah Rasulullah itu. Semua orang dapat didukung untuk: melakukan apa saja, dan tidak terkecuali anak-anak. Secara istilah, tindakan mendukung itu adalah kata halus dari peneguhan positif.
Peneguhan yang paling berarti untuk manusia, terutama anak-anak, adalah peneguh sosial. Hal ini biasanya berbentuk pujian atau boleh juga apa saja yang mengungkapkan perhatian, senyuman, lirikan, pelukan, kecupan, dekapan, perhatian yang mendalam, dan mendengarkan yang baik.
Masalah utama orang tua ialah ketika mereka harus bergaul dengan anak-anaknya pada saat mereka kurang menyukainya. Tetapi seperti kata orang “itulah kehidupan.” Bila ayah pulang larut malam, ia lelah. Bila ibupun pulang, ia kecapaian. Dan mereka harus melakukan banyak hal, bekerja sebagai panitia, menjalankan fungsi sosial, dan lain-lain.
Lalu apa yang sebaiknya mereka lakukan?
“Manfatkanlah waktu yang ada, Pertama, janganlah mempunyai anak bila anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang anda setujui dari tingkah laku anak-anak anda. Jauh lebih baik lagi bila anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.
PENUTUP
Kita baru saja menunjukkan dua hak anak terhadap orang tuanya; pemberian nama yang baik dan kasih sayang. Dari hadits-hadits Nabi, kita tahu bahwa anak juga berhak mendapat makanan, pakaian, olah raga yang membantu pertumbuhan fisiknya, pendidikan yang baik untuk membantu perekonomian jiwanya, dan bimbingan agama untuk menyucikan ruhaninya. Tidak cukup ruang untuk membicarakan semua hak itu disini.
Cukuplah kita mengunci tulisan ini dengan ucapan Ali bin Abi Thalib : “Wahai manusia, seseorang tidak dapat melepaskan dirinya dari anak-anaknya, walaupun ia mempunyai kekayaan. Ia harus membela mereka dengan tangan dan lidahnya. Merekalah yang paling penting untuk diperhatikan dan paling utama untuk didukung, dan paling patut disayangi ketika musibah menimpa mereka ....
.... Janganlah orang berpaling dari keluarganya yang harus ia lepaskan dari kesusahannya dengan sesuatu yang tidak akan menambahnya jika ia menahannya, tidak akan menguranginya jika ia memberikannya. Jika kamu menahan tanganmu dari anak-anakmu, mereka hanya kehilangan satu tangan, tetapi kamu kehilangan tangan yang banyak. Siapa yang dicintai keluarganya ia akan dicintai kaumnya.” (Nahj Al-Balaghah, Khutbah ke-23) []
Wallahu a’lam!
Wassalam...
Comments
Post a Comment